Jumat, 12 Oktober 2012

If i told you 3

Chapter 3



Masumi menghentikan mobilnya didepan apartemen Maya, "Nah mungil kita sudah sampai, terima kasih banyak sudah menemaniku malam ini" katanya sambil tersenyum lembut. Maya memainkan jemari di pangkuannya, bimbang dengan apa yang akan dilakukannya, tapi akhirnya dia membuka pintu yang kemudian diikuti oleh Masumi. "Selamat malam Pak Masumi, terima kasih banyak makan malamnya" katanya sambil memainkan ujung cardigannya.
"Lain kali pesan yang lebih banyak ya supaya kau tidak kelaparan" sahut Masumi dengan senyum jahil.
Maya merengut "iya lain kali saya akan pesan semuanya kalau perlu sekalian sama counternya!"
Tawa Masumi meledak,"Upsss..maaf mungil.." ditahannya tawanya begitu melihat Maya cemberut. "Huhhh...dasar!" Maya membalikkan badan dan mulai melangkah masuk apartemennya, saat didengarnya tidak ada suara pintu mobil ditutup, Maya memutar badannya lagi, disana dilihatnya Masumi sedang memandanginya dengan tatapan yang penuh kerinduan.

Maya mematung, keduanya berdiri di tempat masing-masing dalam diam, hingga akhirnya Maya berlari dan berhenti tepat di hadapan Masumi. "Pak Masumi terima kasih banyak untuk semuanya"  wajahnya merona "Semangat ya Pak Masumi! Apapun yang sedang menggangu pikiran anda..semoga cepat ketemu jalan keluarnya." imbuhnya sambil mengacungkan kepalan tangannya keatas. 
"Mungil... apa kau sedang menghiburku? seandainya saja aku bisa berbagi cerita ini denganmu" Masumi menghela nafas "Terima kasih Mungil, jadilah bidadari merah yang luar biasa ya..aku tidak sabar melihatnya."
"Tentu Pak Masumi, aku akan selalu berjuang untuk itu" jawab Maya.
"Masuklah Mungil, udara sudah semakin dingin, aku tidak mau bidadari merah jatuh sakit" kata Masumi. "Baiklah Pak Masumi, sampai jumpa.." Maya beranjak pergi. 
Masumi menunggu sampai Maya hilang dari pandangannya sebelum akhirnya dia pulang dengan perasaan tak menentu. Pikirannya kalut menyadari bahwa bisa saja tadi adalah terakhir kalinya dia menghabiskan waktu bersama Maya, dia tidak sanggup melepas Maya begitu saja, rasanya terlalu menyakitkan. Setidaknya masih ada satu kesempatan lagi, walaupun rasanya akan sulit mewujudkan keinginannya menikmati indahnya Izu berdua saja dengan Maya, entah kapan dia akan menepati janjinya itu. Dia hanya bisa berharap kesempatan itu akan datang, dan saat itu mungkin akan benar-benar menjadi saat terakhirnya bersama Maya.

Masumi menyusuri koridor rumahnya yang temaram, tiba-tiba sebuah suara menghentikannya "Masumi dari mana saja kau?!" diujung koridor duduk Eisuke Hayami menunggunya. "Selamat malam ayah" sapanya. 
"Jadi bagaimana keputusanmu?" Eisuke tidak menghiraukan sapaan Masumi.
"Aku akan membicarakannya besok, Selamat tidur Ayah!" Masumi berlalu dari hadapan Eisuke, "Ingat Masumi jangan kau kecewakan aku dengan keputusanmu!" kata Eisuke geram.
Masumi tidak mempedulikan teriakan Eisuke, dia tidak mau membahasnya sekarang, bayangan Maya terlalu kuat untuk diabaikan setelah pertemuan mereka tadi. Aroma tubuh Maya melekat pada jas yang dipinjamkannya tadi, seolah gadis mungil itu masih berada disebelahnya. Dan Masumi pun tidur tanpa melepaskan jas-nya, berandai-andai Maya dalam dekapannya.


> Ruang Latihan
Siang itu suasana ruang latihan ramai, disana-sini terdengar celoteh para pemain drama yang membahas beberapa  dialog, ada juga yang sekedar mengobrol ringan sambil melepas lelah setelah berlatih dari pagi. Maya sedang melahap makan siangnya di pantry saat Pak Kuronuma memanggilnya, "Maya..ikut aku sebentar” Pak Kuronuma menghampiri Maya sambil menunjuk sebuah ruangan kosong didekat mereka, Maya tergagap " i..iya pak"  wajahnya tiba-tiba memerah, 
"Berapa lama lagi aku harus menunggumu dan kenapa wajahmu seperti udang rebus begitu?" tanya Pak Kuronuma mulai tak sabar. "Oh..eh..i..iya Pak tunggu sebentar"  Maya bergegas masuk, saat melewati Pak Kuronuma yang berdiri didekat pintu Maya menundukkan wajahnya, dia takut Pak Kuronuma bisa membaca pikirannya karena tadi dia sedang memikirkan Masumi.

Pak Kuronuma segera menutup pintu dan tanpa membuang waktu lagi beliau memulai pembicaraan "Ada sesuatu yang kurang pada Bidadari Merahmu Maya, sekilas memang bagus tapi belum sempurna." 
"Deg! ada yang kurang? Tuh kan benar apa yang kurasakan selama ini, tapi bagian mana ya yang kurang?" Maya mulai gelisah karena ketakutannya selama ini memang beralasan.
Pak Kuronuma melanjutkan bicaranya "Bidadari Merah adalah kisah cinta yang tak bisa memiliki, Akoya dan Isshin saling mencintai tapi keadaan tidak mengijinkan mereka bersatu, kalau manusia biasa tidak bisa bersatu mungkin mereka akan mencari pasangan lain, tapi Bidadari Merah dan Isshin..."  Pak Kuronuma menggantung ucapannya,
"Mereka tetap menjaga cinta mereka walaupun mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah bersatu di dunia ini" sahut Maya. 
"Tepat sekali!" ujar Pak Kuronuma bersemangat, heran karena tumben sekali Maya cepat menangkap arah pembicaraannya. "Nah...menurutmu bagaimana perasaan Akoya melewati semua itu?" Tanya Pak Kuronuma  "Ba..bagaimana perasaan Akoya?" Maya tergagap, dia tidak bisa menjelaskan. 
Pak Kuronuma tersenyum tipis "Katakan padaku apa yang dirasakan Akoya saat itu? Bagaimana Maya? Apa kau bisa merasakannya?" Maya terdiam "Perasaan Akoya? Apa yang Akoya rasakan? Apakah Akoya sedih? Marah atau menangis? Tidak..bukan seperti itu!!" batin Maya "A..aku tidak tahu" jawab Maya.
Pak Kuronuma menjentikkan jarinya "Apa kau mengerti sekarang? Kau harus mencari tahu perasaan Akoya saat itu dan benar-benar memahaminya agar Bidadari Merahmu sempurna."  
Pak Kuronuma melanjutkan "Waktumu tidak banyak, satu minggu sebelum percobaan pementasan kau harus sudah mendapatkannya" Kata Pak Kuronuma sambil membuka pintu dan berlalu dari ruangan itu meninggalkan Maya yang masih berdiri terpaku. Percobaan pementasan Bidadari Merah tinggal satu bulan lagi, dan dia belum menguasai perasaan Akoya dengan sempurna.


> Kediaman Takamiya
Rumah bergaya khas Jepang itu tampak sepi seperti biasanya, atau mungkin bisa dibilang lebih sepi dari biasanya, hanya terdengar gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dekat ruang keluarga. Suasana ruangan yang dulunya tampak hidup pun tidak terlihat, yang ada hanya kesunyian dan kesuraman. Tak ada lagi rangkaian bunga yang menghiasi ruangan, semenjak Shiori menghancurkan semua bunga yang ada dirumah itu.

Dan disana, disalah satu kamar terbaring lemah seorang wanita muda yang cantik, wajahnya pucat, rambutnya yang biasanya tergerai indah tampak kusut, tatapan matanya kosong.
"Masumi.. " batinnya lirih, "Kenapa kau harus datang saat acara perkenalan itu? Seandainya kau tak datang mungkin tidak akan seperti ini akhirnya.. " Shiori menghela nafas,
"Aku tak akan pernah melupakan hari indah itu, hari pertama kali kita bertemu, aku hanya duduk menunduk tak sanggup menatapmu, hingga akhirnya aku mendengar suaramu yang menggetarkan jiwaku, tahukah kau betapa gugupnya aku?" Shiori memejamkan matanya dan kembali bermain dengan pikirannya "Akhirnya kuberanikan diri untuk mencari tahu darimana suara  itu berasal, dan disana aku melihatmu...Masumi..."

Airmata Shiori membasahi pipinya "Tahukah kau betapa tampannya dirimu? Pesonamu telah menjerat hatiku hingga aku lupa caranya bernafas, dan saat  itu juga aku tahu bahwa aku telah jatuh cinta padamu Masumi" Shiori kembali membuka matanya dan menatap langit biru dari jendela kamarnya "Dan semuanya semakin sempurna dengan segala kebaikanmu kepadaku, sikapmu yang sopan dan ramah, senyum lembut yang selalu menghiasi wajah tampanmu, perhatianmu yang begitu tulus kepadaku, aku begitu terlena dengan semua yang ada pada dirimu hingga aku mempercayakan hatiku ini kepadamu."

"Tok..tok." seseorang mengetuk pintu kamarnya "Sayang, apa kau sudah bangun?" suara ibunya menyadarkan Shiori dari lamunannya. Ibu Shiori menghampiri putri semata wayangnya yang masih terbaring lemah, diciumnya keningnya dan kemudian duduk disebelahnya "Sayang..bagaimana tidurmu? Nyenyak? Tadi ibu kesini tapi kau masih tidur jadi ibu tidak membangunkanmu, ibu hanya membuka tirai jendela supaya sinar matahari pagi bisa masuk dan menghangatkanmu" katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih ibu" Shiori menatap sayang pada ibunya,
"Nah..yuk ibu bantu bersiap-siap, kau harus tampil cantik hari ini, ibu sudah menyiapkan baju yang cocok untukmu, tapi mungkin agak kebesaran karena kau agak kurus sekarang" suaranya terdengar bersemangat walau agak sedikit bergetar.
Shiori tersenyum, mencoba bangun dan kemudian memeluk ibunya "Terima kasih banyak bu, aku sangat menyayangimu" bisiknya lirih. Ibu dan anak itu berpelukan dalam diam, si Ibu berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah, dia tidak ingin membuat putri kesayangannya sedih. Entah berapa lama lagi atau berapa kali lagi dia bisa memeluknya seperti saat ini.


Kamis, 11 Oktober 2012

If i told you 2

Chapter 2




> Keesokan harinya di Ruang latihan
Koji sudah mulai ikut latihan walaupun belum latihan penuh, kakinya masih sedikit ngilu tapi sudah lebih baik dari sebelumnya. Koji masih marah pada Maya, tapi dia mulai merindukannya. Mendiamkan Maya adalah ide yang bodoh, karena dia sendiri yang rugi. Dipandanginya Maya dari tempatnya duduk "Maya...Aku merindukanmu, sudah lama tidak mengobrol denganmu hampir bisu rasanya, Maafkan aku..." batinnya sendu "Sudahlah Koji, sampai kapan kau akan seperti ini? maafkanlah dia dan bersikaplah seperti biasanya, jadilah aktor yang profesional" imbuhnya. Koji menghela nafas, dan kembali memperhatikan Maya dari jauh.

"Wuuzzz....wuuuzz....wuuuzzz” Suara angin bersahutan menerobos celah-celah jendela berusaha untuk masuk, sesekali terdengar suara petir berlomba membelah langit. Pohon-pohon berusaha mempertahankan diri dari terjangan angin, akarnya mencengkeram tanah kuat, daunnya terombang-ambing mengikuti arah angin dan hujan pun mulai turun membasahi bumi. Maya berdiri di teras gedung tempatnya latihan, merutuk dalam hati kenapa tadi pagi dia tidak menurut pada Rei yang sudah mengingatkannya untuk membawa payung.

 "Huft..coba tadi aku ikuti nasihat Rei pasti aku tidak terjebak disini, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda hujan akan segera reda" sungutnya menyesal. Maya masih asyik dengan dunianya sendiri ketika sesuatu yang hangat menyentuh bahunya.

 "Ck..ck..ck..Bidadari Merah ini lagi-lagi melamun." sebuah suara yang sangat familiar di telinganya mengejutkannya, Maya memutar badannya dan tepat dibelakangnya berdiri Masumi Hayami dengan jasnya yang sudah menyelimuti badan Maya, "Pak Masumi..." Maya terbelalak, antara kaget dan salah tingkah. 

Masumi tersenyum menatap Maya "Perlu tumpangan untuk pulang nona? Tarif normal deh..." tanyanya berlagak seperti sopir taksi. Maya mengerucutkan bibirnya "Maaf saya tidak sanggup membayar kalau sopirnya Pak Masumi!" sahut Maya sambil memalingkan wajahnya, berusaha untuk menyembunyikan kegugupannya. 
Masumi tertawa melihat tingkah Maya "Hmm..bagaimana kalau bayarnya dengan menemaniku makan malam?" tawarnya, Maya pura-pura mikir dan akhirnya dia tersenyum tengil "Anda yakin? Makan saya banyak lho.." jawabnya. Tawa Masumi meledak, dia tidak bisa menahannya lagi "Kalau itu aku sudah tau mungil" ujarnya "Ayo kita berangkat, udara dingin ini tidak baik untuk kesehatanmu" imbuhnya. Maya jadi makin gugup, dia mengekor Masumi masuk ke mobilnya.

Kehangatan langsung menyerbu tubuh Maya, hmmm mobil ini wangi, hangat, dan nyaman.. Maya tersenyum sambil menutup mata dan menyandarkan badannya. Masumi mengamati Maya dari sudut matanya "Senyum itu..aku merindukannya..sangat.." bisiknya dalam hati.

Masumi menyalakan mesin mobilnya "Sudah siap mungil?" yang dijawab dengan anggukan oleh Maya. "Mau makan apa Mungil?" tanya Masumi sambil membawa mobilnya meninggalkan pelataran gedung, "Mungil.." entah sejak kapan Maya mulai suka dengan panggilan itu, walaupun didepan Masumi dia pura-pura sebal, heran kenapa Masumi suka sekali memanggilnya mungil, padahal dia sudah lebih tinggi 1 cm dari pertama kali mereka bertemu. 

"Mungil..kau mau makan apa?" ulang Masumi.
"Eh..ah..makan apa ya? Mmmm.." Maya kebingungan, tiba-tiba saja sudut matanya menangkap sebuah Drive Thru Big Brother Burger "Stop..Stop Pak Masumi!" Masumi terkejut karena Maya memekik "Ada apa mungil?" tanyanya sambil mengurangi kecepatan mobilnya "Kita makan burger saja yuk, itupun kalau Pak Masumi tidak keberatan" ujar Maya, seraya menunjuk sebuah banner drive thru disebelah kiri jalan. Masumi mengikuti arah telunjuk Maya dan berseru "Siap nona mungil!"

Beberapa saat kemudian Masumi menyerahkan bungkusan burger kepada Maya setelah selesai membayar "Nah mungil, dimana kita akan menghabiskan semua ini?" tanyanya sambil tersenyum melihat Maya kegirangan menerima semua pesanannya yang berukuran jumbo.

"Aku tahu tempat yang cocok dan tidak jauh dari sini, Pak Masumi tahu Rainbow Bridge di Odaiba?" Maya memalingkan wajahnya kepada Masumi yang sedang memandangnya dan sesaat pandangan mereka terkunci, mata mereka bicara dalam diam mencoba untuk melihat jauh kedalam menembus lubuk hati  satu sama lain. Beberapa detik yang berasa seperti berjam-jam, keduanya tidak ingin melepaskan pandangannya, namun akhirnya Masumi tersadar dan mencoba menetralisir suasana dengan berpura-pura melihat kaca spion "Baiklah ayo kita kesana mungil" katanya lembut, Maya mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke jendela berusaha untuk menenangkan jantungnya yang berdebar seolah mau meloncat keluar dari tubuhnya. Keheningan menyergap keduanya, untuk sesaat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. 

Maya heran dengan sikap Masumi yang lain dari biasanya, malam ini Masumi begitu penurut, tidak seperti biasanya yang selalu mengajak Maya berdebat. "Pak Masumi ... ada apa sebenarnya? Apa yang anda sedang pikirkan? Kenapa anda terlihat begitu muram?" batin Maya sambil mengamati bayangan Masumi dari kaca jendelanya.

Masumi membawa mobilnya dengan santai, dia sedang tidak ingin berdebat dengan Maya malam ini walaupun dia yakin akan sangat merindukan suasana itu. Berdebat dengan Maya sudah menjadi salah satu hobinya entah sejak kapan, rasanya seperti ke kantor tapi belum mandi kalau tidak berdebat dengan Maya saat mereka bertemu. Masumi ingin menikmati malam ini hanya bersama Maya, sebelum semuanya berakhir dan selamanya dia akan jadi bayangan.

> ODAIBA
"Wooowww...Pak Masumi lihat itu..indahnyaaa.." Maya menunjuk sebuah jembatan dengan kerlap-kerlip lampu yang menghias dari ujung ke ujung, "Seperti hamparan bintang ya" sahut Masumi. Maya mengangguk tanda setuju "tapi masih indah aslinya yang di lembah Plum, tadinya aku mau kesana tapi nanti keburu lapar" kata Maya sekenanya saja. Masumi terkekeh mendengar  jawaban Maya yang polos "Kau ini yang dipikirkan cuma akting dan makan ya? " masih dengan senyum mengembang. Maya lagi-lagi mengerucutkan bibirnya, tapi kemudian mulai sibuk melihat rainbow bridge yang dilaluinya bersama Masumi. Rainbow bridge adalah penghubung Odaiba dengan daratan Tokyo. Pada satu jembatan yang indah ini, terdapat jalan tol, jalur kereta api, jalan biasa, bahkan trotoar bagi pejalan kaki. Karena multifungsi dan arsitekturnya yang menawan, jembatan ini kemudian menjadi simbol dari Odaiba. 
 
Mereka berjalan kaki menyusuri taman bunga yang dihiasi lampu-lampu berkerlap-kerlip, hujan sudah reda dari tadi menyisakan udara sejuk yang sangat dinanti penduduk kota Tokyo yang seharian sibuk bekerja. "Kita duduk disini saja ya?" Maya menunjuk sebuah bangku taman, Masumi mengangguk tanda setuju. Mereka kemudian duduk berhadapan, Maya mengeluarkan saputangannya untuk dijadikan alas makan malam mereka. Masumi pun tidak mau ketinggalan ikut mengeluarkan iphone dan memutar mp3 dari playlistnya. Mereka berdua tersenyum puas melihat hasil kerja mereka, sempurna sekali makan malam kali ini, ditengah taman, beratapkan langit, diterangi cahaya lampu temaram dan alunan musik yang indah, sesekali angin sepoi membelai wajah mereka lembut. 
"Nah mungil..semuanya sudah siap, maaf aku tidak mengajakmu makan malam ditempat yang mungkin lebih layak dari ini" Masumi membukakan kaleng minum Maya.
"Tidak apa-apa Pak Masumi, ini sudah lebih dari cukup, lagipula disini indah kok" Maya tersenyum bahagia baginya ini adalah makan malam terindah sepanjang hidupnya, walaupun menunya hanya burger dan kentang goreng, tempatnya pun bukan di restoran mewah, tapi ini semua sempurna karena ada Masumi yang menemaninya.

Masumi memperhatikan Maya yang asyik dengan burgernya, "Maya...maafkan aku" batinnya, seraya menimbang-nimbang "Bagaimana jika aku katakan  siapa aku sebenarnya?  Bagaimana jika aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, tidak ada lagi topeng dan peran yang aku mainkan."
Ada begitu banyak yang ingin Masumi katakan tapi dia takut untuk mengungkapkan rahasia kecil itu, "Apakah jika aku katakan, kau akan  melihat aku dengan cara yang  berbeda?" disesapnya kopi hangat yang dipesannya tadi sambil terus memandangi Maya yang sedang merapikan rambutnya karena tertiup angin nakal, "Maya... Bagaimana jika aku katakan bahwa aku tidak sekuat seperti yang semua orang lihat selama ini? Bahwa itu semua hanyalah sebuah cara untuk menyembunyikan kegelisahanku." Masumi menghela nafas, lelah dengan semua ini walaupun sebenarnya  dia tidak pernah menyerah.

"Pak Masumi...anda baik-baik saja?" tanya Maya, ada nada kekhawatiran pada suaranya. Masumi tersentak saat dilihatnya Maya sedang menatapnya cemas, tapi dia dapat menguasai diri dengan baik kemudian tersenyum pada Maya "Wahhh...sudah habis saja mungil, selera makanmu memang luar biasa." katanya mencoba mengalihkan perhatian Maya. 
"Menyebalkan!!" gumam Maya sambil mengelap tangannya dengan tissue basah. 
Masumi terkekeh "Jadi bagaimana dengan latihan Bidadari Merahmu Mungil?" 
"Hmm.." Maya terpekur. "Ada apa Mungil? Apakah Pak Kuronuma terlalu keras kepadamu?"
"Tidak..entahlah..sepertinya masih ada yang kurang dengan Bidadari Merah saya, tapi dimana kurangnya saya juga bingung" Maya menerawang.
"Wah..Jangan sampai aku pergi meninggalkan tempat duduk ditengah pertunjukkan kalau kau tidak bisa menjadi Bidadari Merah yang sempurna, kau tidak mau itu terjadi bukan?" Masumi melirik Maya sekilas."Itu tidak akan terjadi, sebaliknya malah anda akan lupa untuk pulang setelah pertunjukkan berakhir, saya akan jadi bidadari merah yang akan anda kenang selamanya" ucap Maya dengan suara bergetar. Masumi memandang Maya dengan senyum tertahan karena pancingannya tepat mengenai sasaran.

Mereka berdua sedang asyik melihat laut dari atas jembatan dalam diam, yang terdengar hanya deru suara angin. Maya melirik Masumi disebelahnya yang sedang sibuk dengan pikirannya, untuk sesaat Maya menikmati pemandangan indah itu, dia baru menyadari betapa tampannya Masumi ditelusurinya wajah Masumi, mata yang selalu memberikan keteduhan, hidung mancungnya, bibir yang selalu memberikan senyum manis, rambut Masumi yang bergerak ringan tertiup angin, tangannya yang selalu memberikan kehangatan, dada bidangnya yang selalu melindungi dirinya dari berbagai bahaya. 

Maya menghela nafas pelan "Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?" batinnya. Tiba-tiba Masumi menoleh kearah Maya "Ada apa Mungil?" Maya tersentak "Ah..eh..ti..tidak Pak Masumi" dan secepat kilat mengalihkan pandangannya kelaut lagi, jantungnya berdetak kencang. Masumi melirik jam tangannya dan Masumi pun mengajak Maya pulang "Sudah tengah malam Mungil, ayo kuantar pulang " katanya, walaupun sebenarnya dia enggan beranjak.

Selasa, 09 Oktober 2012

If I told you

Chapter 1




Setting : setelah percobaan bunuh diri Shiori

> Daito
Suasana kantor sore itu lengang, para karyawan sudah banyak yang pulang karena besok adalah weekend. Sementara itu di ruang direktur utama sayup-sayup terdengar suara musik, sinar matahari sore menembus tirai jendela dengan warna jingga keemasan yang mampu menghangatkan siapa pun yang disentuhnya tapi tidak untuk makhluk yang satu ini. Jiwanya telah meregang nyawa, tatapannya menerawang mengabaikan tumpukan berkas yang ada diatas mejanya. Masumi kembali teringat pertemuannya dengan keluarga Takamiya beberapa hari yang lalu.

 "Masumi apakah benar kau mau membatalkan pernikahanmu dengan cucuku?" tanya kakek Shiori membelah kesunyian suasana ruang keluarga kediaman Takamiya. Masumi menghela nafasnya "Mohon maaf kek, saya melakukan ini semua demi kebaikan Shiori" jawab Masumi dengan tenang.

"Apa maksud dari semua ini Masumi? Tidak ada yang lebih baik untuk Shiori selain kau menikah dengannya." katanya gusar tapi tetap dengan penuh wibawa.

"Ayah, bolehkah aku bicara dengan Masumi sebentar?" tiba-tiba ibu Shiori menyela pembicaraan mereka. Ibu Shiori terlihat sedih, wajahnya yang cantik tampak gelisah.

Kakek Shiori tampak berpikir sebentar, siapa tahu kalau ibunya Shiori yang bicara langsung dengan Masumi dapat merubah keputusan Masumi.

"Baiklah, aku akan meninggalkan kalian berdua disini, semoga aku mendapat kabar baik nantinya" ucapnya sambil berlalu pergi.

Masumi masih duduk dengan tenang dikursinya, sebenarnya dia tidak mau berlama-lama walaupun ruang keluarga Takamiya ini sangat nyaman dengan tatanan interior khas bergaya Jepang, disetiap sudut ada rangkaian bunga hidup yang wanginya memenuhi seluruh ruangan. Tapi tujuan Masumi datang ke kediaman Takamiya hanya satu yaitu membatalkan pernikahannya dengan Shiori.

"Masumi, aku tidak tahu harus memulai darimana, apa kau tidak memikirkan perasaan Shiori?" Ibu Shiori memulai pembicaraan dengan suara gemetar

Masumi bergeming, wajahnya tegas bahwa dia tidak akan berubah pikiran.

"Sudah saatnya Shiori belajar menerima kenyataan bu, cepat atau lambat ini akan terjadi, saya sudah berusaha belajar untuk mencintainya tapi ternyata tidak bisa."

"Ini sangat tidak adil bagi Shiori." ibu Shiori mulai berkaca-kaca.

"Saya tahu ini tidak adil untuk Shiori, tapi akan lebih tidak adil lagi kalau ini diteruskan, karena saya tidak bisa membahagiakan Shiori. Apalah arti sebuah pernikahan jika tidak ada cinta didalamnya?" Masumi mulai tidak suka dengan atmosfer permohonan ini. Dia ingin segera pergi dari kediaman Takamiya.

"Apakah kalau aku memberi tahu keadaan Shiori yang sebenarnya, keputusanmu akan berubah?"
Ibu Shiori menghela nafas, dengan suara tercekat dia berkata "Umur Shiori tidak lama lagi" air mata mulai menetes di pipinya yang tampak tirus.

Masumi terperangah "Tidak lama lagi?" tanyanya dalam hati, tapi dia berusaha tetap tenang, dia tidak ingin keputusannya ditawar-tawar lagi.

"Thalassaemia..ya Shiori mengidap Thalassaemia Masumi, sudah stadium 3 itulah kenapa dia sering pingsan. Kami pikir selama ini dia terkena anemia yang akan sembuh dengan cukup istirahat dan minum suplemen penambah darah." ibu Shiori mulai bercerita, "kemarin dia menjalani tranfusinya yang pertama, saat ini jadwal tranfusinya setiap dua minggu dan akan semakin sering nantinya seiring berjalannya waktu."

"Apakah dia akan sembuh?" tanya Masumi.

"Thalassaemia belum ada obatnya, kata dokter satu-satunya jalan yang bisa dilakukan untuk mempertahankan hidupnya adalah dengan tranfusi darah."
Ibu Shiori terisak tertahan "Aku mohon kepadamu Masumi, jangan tinggalkan Shiori di sisa umurnya ini, walaupun kau tidak mencintainya." Ibu Shiori berlutut dihadapan Masumi, dia lupa akan siapa dirinya yang seorang Takamiya, karena seorang Takamiya tidak pernah dididik untuk memohon kepada orang lain, tapi dia sudah tidak peduli lagi, baginya yang  terpenting saat ini adalah kebahagiaan Shiori.

Dering Handphone membawa Masumi kembali pada ruang kerjanya, diliriknya sekilas siapa yang mengusik lamunannya. Ternyata Mizuki mengirim email agenda kerja untuk satu minggu kedepan. Masumi menghela nafas, menyesap mountain blue yang tidak hangat lagi, melihat keluar jendela dan bulan sudah menggantikan matahari. Masumi membereskan berkas-berkasnya, mematikan laptopnya, memasukkan foto Maya kedalam laci dan meninggalkan ruang kerjanya.

> Kediaman Hayami
Rumah besar itu tampak lengang seperti biasanya. Masumi menuju ruang kerjanya, beberapa hari terakhir ini dia sengaja membawa pulang pekerjaan walaupun sebenarnya jam pulang kantornya bisa dibilang lewat tengah malam. Dia ingin menyibukkan diri alih-alih memikirkan Maya, karena lengah sedikit saja kerinduan itu akan membunuhnya. Tapi sekuat apapun dia berusaha, sekuat itu pula kerinduan itu menyusup relung hatinya "Maya,bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" bisiknya lirih.

"Aku mohon kepadamu Masumi, jangan tinggalkan putriku di sisa umurnya ini" Masumi kembali teringat permohonan ibu Shiori yang begitu memilukan, sebenarnya Masumi sudah mati rasa karena dia sudah sering melihat orang memohon belas kasihannya dalam hal pekerjaan. Tapi ini lain, walaupun Masumi dingin dan gila kerja tapi dia masih punya hati. Masumi teringat ibunya yang telah tiada, ibunya pun pasti akan rela melakukan apa saja demi melihat kebahagiaannya.

Dan kebahagiaan yang sudah lama dinantinya itu sudah diujung jalan sana menunggu untuk diraihnya, sebentar lagi... tapi ternyata diujung jalan itu ada jurang yang curam dan sangat dalam sementara kebahagiaan itu sendiri berdiri tepat diseberang sana. Hanya ada dua piilihan, nekat meloncat dengan risiko jatuh kedalam jurang yang tak berujung atau berbelok arah dan meninggalkan kebahagiaan itu sendirian. Sebenarnya bukan masalah besar untuk seorang Masumi meloncat melewati jurang itu, apapun akan dia hadapi asalkan dia bisa meraih kebahagian itu walaupun cuma sesaat. 

Tapi banyak hal yang harus dia pertimbangkan, Dia tidak mau bertindak gegabah yang pada akhirnya akan membuat Maya terluka. Masumi bergidik ketika membayangkan sesuatu yang buruk menimpa Maya, bagaimanapun juga keselamatan Maya adalah yang utama. Masumi mematikan lampu meja dan menarik selimutnya "Besok aku akan kesana sebelum drama baru ini dimulai. " bisik Masumi sebelum dia terlelap karena kelopak matanya sudah tidak kuat lagi menemaninya terjaga.