Senin, 17 Desember 2012

If i told you 6

Chapter 6




Masumi menyesap minumannya perlahan dan memandang ke luar jendela. Gerimis mulai turun lagi setelah sempat reda, Ia berdiri di sana memandangi butiran air yang jatuh membasahi bumi. Ada yang salah.. tidak seharusnya dia merasa sehampa ini, bukankah dia sudah mengambil keputusan akan meninggalkannya, memendam hasrat untuk bersamanya dan melepas kebahagiaan itu untuk selamanya. Aneh.. Seharusnya dia tidak perlu segamang ini. Tapi apa yang dia lakukan tadi benar-benar menyakiti gadis itu bahkan dia sendiri bisa merasakan perih saat pedang itu menyayat hatinya pada salah satu sisi dan hati gadis itu disisi satunya.

"Maya..maafkan aku..ini yang terbaik buatmu, kuharap.." desahnya

"Bagaimana anda tahu kalau ini yang terbaik untuk Maya?" Suara tegas wanita itu menyadarkannya dari lamunan.
"Sudah berapa kali aku bilang?? Ketuk pintu dulu sebelum masuk ruanganku Mizuki!" teriaknya jengkel, dia tidak suka orang lain melihatnya melamun, tapi entah sudah berapa kali Mizuki memergokinya seperti  ini.

"Saya sudah mengetuk, bahkan bisa dibilang menggedor, tapi tidak ada sahutan dari dalam" Mizuki mengamati sang atasan dari balik kacamatanya,
"Jadi saya berinisiatif untuk masuk, saya khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada anda" imbuhnya. Masumi tampak gusar, dia selalu saja kalah dari sekretarisnya ini, "Jadi apa jawaban anda?" Mizuki masih menunggu.

"Kau kesini hanya ingin menanyakan itu saja, huh?!" Masumi menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam, menikmati sensasi wangi tembakau yang baru dibakar.

"Tadinya saya ingin pamit pulang dan menyerahkan beberapa dokumen untuk meeting besok" seraya meletakkan dokumen diatas meja "Sepertinya lampu itu sudah berubah jadi hijau, apakah anda tidak menyadarinya?" lanjutnya pelan.

Masumi terbelalak "Deggg!! Tidak mungkin!" batinnya. "Kau ini selalu saja sok tahu Mizuki" balasnya sambil tersenyum samar, menolak untuk percaya dengan ucapan sekretarisnya yang handal itu.

"Sampai kapan anda akan berpura-pura tidak menyadarinya? Membohongi Maya dan diri anda sendiri? Bahkan orang buta pun tahu bahwa gadis itu mencintai anda.." Mizuki menatap lurus kearah bosnya dan menambahkan dalam hatinya, "Kumohon Pak Masumi akuilah semua ini dan ungkapkan semua pada Maya apa yang anda rasakan, sebelum semuanya terlambat."

"Entahlah Mizuki..aku tahu akan gagal jadi untuk apa aku mencobanya?" pria gagah itu untuk pertama kalinya tampak tidak berdaya dihadapan sekretarisnya, sudah kepalang basah sekalian saja curhat pikirnya, toh sekretarisnya ini sudah dia anggap seperti bagian dari keluarganya sendiri.

Mizuki yang mendengar penuturan bosnya itu tersentak, ingin sekali dia tidak mempercayainya tapi dia mendengar semuanya sendiri, rasanya seperti bukan Masumi Hayami yang dia kenal selama ini.

"Mungkin apa yang kau bilang benar, bahwa lampu itu tidak selamanya merah, tapi... apakah semua itu masih ada artinya? Terlambat Mizuki.." Pria itu bergerak membelakangi sang sekretaris masih dengan rokok di tangannya "Tolong tutup lagi pintunya sebelum kau pulang" tambahnya pelan.
"Pak Masumi...semudah itukah anda menyerah?" wanita itu masih ingin mencoba berdebat, "Kumohon Mizuki...pulanglah.." sahut Masumi tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Mau tidak mau wanita itupun mengalah dan menelan semua kata-kata yang sudah sampai di ujung lidahnya kembali, menjejalkannya kedalam kerongkongannya, dan memaksanya masuk kedalam lambungnya dan tak ayal dia pun diserbu rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya.  

> Beberapa hari kemudian di apartemen Maya
Hujan sudah berhenti beberapa saat yang lalu, menyisakan aroma daun dan ranting basah, cahaya bulan menerangi bumi menggantikan si awan hitam. Sepasang mata indah tampak bergerak pelan menyapu dinding dalam keremangan cahaya "Ohh.. Sudah lewat tengah malam, sepertinya aku ketiduran tadi" Maya mengerakkan badannya dalam selimut, pasti Rei yang menyelimutinya karena dia tidak ingat kapan memakainya, diliriknya sosok jangkung  yang sudah terlelap disampingnya "Terima kasih Rei" bisiknya dalam hati.
Pikirannya kembali pada kejadian tadi sore sebelum dia pulang "Maya, ikut aku sebentar!” Pak Kuronuma memberi isyarat dengan sedikit memiringkan kepalanya kearah jalan, dan tanpa menunggu jawaban apapun beliau menyusuri jalan kecil disamping gedung tempat mereka latihan. Maya bertanya dalam hati mau kemana gerangan, tapi dia hanya mengekor dengan berlari kecil. Diujung jalan itu mereka berhenti, disana tampak ada minimarket yang didepannya terdapat mesin penjual minuman kaleng dan beberapa sepeda yang berjejer rapi. Disampingnya ada toko buah yang memajang dagangannya pada sebuah kotak kayu yang diberi jerami kering, tumpukan kardus menjulang tinggi disamping toko. Selain itu hanya tampak rumah-rumah biasa, Maya tampak bingung mau kemana sebenarnya mereka, apa mungkin Pak Kuronuma mau mengajaknya belanja? Tidak mungkin.. atau beli buah? Lebih tidak mungkin lagi pikirnya.

“Ayo Maya, jangan bengong terus!” hardik Pak Kuronuma,
“Eh..iya Pak..” Maya mempercepat langkahnya,
Pak Kuronuma membawa mereka ke sebuah bangunan dari kayu yang terletak dibelakang toko buah, ternyata disamping toko buah itu ada sebuah jalan kecil, keberadaannya tertutup oleh tumpukan kardus buah yang disusun rapi. Siapapun akan terkecoh kalau tidak jeli melihatnya, tapi sepertinya Pak Kuronuma sangat mengenal tempat ini.

Pak Kuronuma membuka pintu yg diatasnya ada semacam tirai kecil berwarna biru bertuliskan ucapan selamat datang di Yoshida Ramen, mereka berdua memilih kursi tinggi seperti di bar yang menyatu dengan meja sekaligus dapur mini, dari situ mereka bisa melihat aksi sang chef meracik pesanan para tamu. "Selamat datang!" sapa sang chef dengan senyum mengembang "Mau pesan apa?" tambahnya masih dengan tersenyum.

“Mmm..saya pesan Tonkotsu shoyu ramen dan ocha” Maya tersenyum sambil mencoba mencari posisi duduk yang lebih nyaman. “Aku seperti yang biasa ya” kata Pak Kuronuma, chef itu pun mengangguk dan segera beraksi meracik pesanan mereka berdua. “Anda sering kesini?” Maya tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, “Iya aku selalu makan disini kalau harus menginap di tempat latihan” sahut Pak Kuronuma. Maya mengangguk sambil melihat sekelilingnya, ada beberapa tamu lain yang sedang asyik mengobrol dengan mangkuk ramen yang tinggal separuh isinya. Diujung deretan dia duduk ada sepasang anak muda yang sepertinya sedang bertengkar karena ramen mereka hampir tidak tersentuh.

“Maya, Bidadari Merahmu masih belum dapat chemistry-nya, kau punya penjelasan yang tepat untukku?” Pertanyaan Pak Kuronuma yang tiba-tiba membuatnya gelagapan, “Sa..saya sedang berusaha mendapatkannya..” sahutnya pelan,
“Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian terakhir ditempat latihan?” tanya Pak Kuronuma tanpa basa-basi. Wajah Maya memerah saga, dia hanya mampu menunduk sambil memainkan kakinya.

Sesaat pembicaraan mereka terhenti ketika pesanan mereka datang, “Kau sudah aku anggap seperti anakku sendiri, jadi jangan pernah sungkan kalau ada yang ingin kau tanyakan, kau tahu itu kan?” Beliau menatap Maya seperti seorang ayah kepada putri mungilnya. Maya terharu mendengarnya, dia lupa kalau selama ini sebatang kara, semua itu karena orang-orang disekelilingnya begitu baik dan sayang kepadanya.
“Te..teri..terima kasih” sahutnya terbata sambil tersenyum bahagia menahan supaya air matanya tidak jatuh.

Mereka menghabiskan makanan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing, Maya bersyukur bisa bertemu dengan orang-orang yang baik dalam hidupnya, bahkan Pak Kuronuma yang terkenal keras dan tanpa basa-basi ternyata begitu perhatian kepadanya, tapi bagaimana mungkin dia akan membicarakan masalah ini dengannya.. “Mmm..saya sedih karena Pak Masumi akan segera menikah dengan nona Shiori...seharusnya saya bahagia untuk mereka...tapi..entahlah...saya rasa...saya jatuh cinta dengan Pak Masumi” Maya menelan ludah membayangkan dirinya menumpahkan segala beban pikirannya kepada Pak Kuronuma dan wajahnya pun kembali memerah.

“Cinta itu biasa, prosesnya yang luar biasa” Pria nyentrik itu tahu bahwa Maya masih segan untuk membicarakan masalah pribadi dengannya, 
“Cinta datang disaat yang tak terduga, kau baru akan menyadarinya setelah dia akan pergi dari hidupmu” Pak Kuronuma menghabiskan sake hangatnya dalam sekali teguk sebelum melanjutkan wejangannya,
“Ketika kau sadar bahwa dia bukan untukmu, cara  terbaik untuk melewati semua episode ini adalah belajar untuk merelakannya.”
Maya terpaku mendengar penuturan pria paruh baya itu,

“Percayalah Maya, merelakan bukan berarti kau harus berhenti mencintainya, tapi karena kau yakin bahwa dia selalu ada dihati walaupun tahu dia tak akan kembali,mungkin ini yang terbaik untuk kalian berdua” lanjutnya,
Maya tidak tahu harus berkata apa, Pak Kuronuma tahu semuanya “Apakah aku setransparan itu? Atau jangan-jangan beliau bisa membaca pikiranku?” batin Maya mulai ngaco.

"Kalau kau bisa melewati tahap ini, Bidadari Merahmu pun pasti sempurna!" Kata-kata Pak Kuronuma terngiang terus di benak Maya, "Merelakannya..Akoya pun rela mengorbankan cintanya, jiwa dan raganya demi alam semesta.." Maya menghembuskan nafasnya "Merelakan Pak Masumi?" seraya terbangun tiba-tiba "Aduhhh..kenapa sih aku ini? Ughhhh... pergi kau dari otakku!!!" teriaknya frustasi sambil menarik rambutnya sampai berantakan.
"Maya!!! Ada apa?!" Rei terperanjat demi mendengar Maya berteriak tiba-tiba.
"Mmaa..maaf Rei.." Sahutnya pelan
"Mimpi buruk?" tanya Rei sambil mengucek mata
"Iya, maaf kau jadi terbangun.." jawabnya sambil nyengir kuda
"Dasar kau ini! bikin kaget aja... Aku pikir tadi ada maling." tak ayal bantal pun melayang menimpa muka Maya, "Reeiiii!!!! Awas kau ya..!!" ancam Maya.
Mereka berdua pun perang bantal di pagi buta dan baru berhenti setelah si induk semang menggedor pintu apartemen, keduanya terkekeh.
Maya menghela nafasnya, perasaannya sedikit tenang bisa tertawa lepas tanpa beban, "Apa yang aku lakukan? Meratapi nasib seolah dunia ini runtuh, padahal aku punya sahabat yang begitu baik seperti Rei..Kalau seperti ini terus, lama-lama aku bisa gila. Aku harus tahu diri, sekuat apapun mengejarnya tidak akan pernah sampai, aku harus berdamai dengan keadaan ini, dan kembali fokus dengan Bidadari Merah."

Pak Kuronuma benar cinta itu tidak harus memiliki, biarlah rasa ini aku jaga dalam hati, selama masih ada mawar ungu aku pasti bisa melewati semua ini, aku pasti bisa! Mawar ungu dihatiku tak akan pernah layu. 
Maya tersentak "Ini dia! Ini...perasaan Akoya yang sesungguhnya, merelakan.. cinta tanpa syarat, mencintai tanpa mengharap untuk memiliki, mencintai karena bahagia bisa mencintainya...Akoya....ini Akoyaku...aku bisa!" dipeluknya dirinya sendiri, takjub dengan perasaan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, dan dia pun menangis lega.
Aku harus menjadi Bidadari Merah yang sempurna, karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya, satu-satunya jalan yang menghubungkan kami, aku tidak boleh mengecewakannya. "Pak Masumi...mawar unguku.."

Maya memejamkan mata dengan seulas senyum menghias wajahnya, beban beratnya telah menguap tanpa bekas berganti dengan rasa damai yang membuatnya bahagia, bahagia karena bisa mencintai seorang Masumi Hayami.

> Kediaman Takamiya
"Bagaimana dokter apakah sudah ada kabar mengenai donor untuk transplantasi sumsum tulang belakang yang cocok?" Nyonya rumah itu bertanya dengan nada cemas.
"Kami masih menunggu hasil tes, semoga kali ini cocok, tapi kalaupun cocok untuk proses transplantasinya kita harus menunggu kondisi nona Shiori benar-benar prima." Pagi itu dokter berkunjung ke kediaman Takamiya untuk pemeriksaan rutin, 
"Perlu nyonya ketahui bahwa kemungkinan sembuh setelah proses transplantasi ini sekitar 70-80%." imbuhnya, 
Wanita itu menahan nafas mendengar penuturan sang dokter, tapi ini adalah jalan terakhir untuk mengobati anak semata wayangnya.
"Jangan khawatir, kami akan melakukan yang terbaik untuk Nona Shiori" Dokter itu tersenyum menenangkan.

Mereka tidak menyadari bahwa Shiori mendengar semuanya, "Transplantasi sumsum tulang belakang? Ya Tuhan..." Shiori merasa terpukul,dan tubuhnya pun limbung...
"Nona Shioriii... Bertahanlah!!!"